Selasa, 23 Juni 2015

ORMAWA = Aktivis dan Akademik

Berbicata tentang mahasiswa memang cukup menarik. Pasalnya mereka mempunyai keunikan tersendiri dalam masa perkembangannya. Mereka mempuyai pola pikir yang berbeda beda meski sudah banyak tercampuri dengan pandangan sekuler maupun islam. Semangat yang kuat untuk melakukan perubahan menjadi keseharian mereka. Berpikir kritis , pragmatis, dan idealis adalah suatu hal yang dianggap biasa oleh mereka, karena mereka hidup di lingkungan yang memang benar benar menjadikan mereka seperti itu. Kampus_ormawa.
Kampus adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa , kampus dijadikan tempat menimba ilmu, mempersiapkan masa depan, dan mengembangkan diri menjadi pribadi yang utuh. Di kehidupan kampus juga tidak terlepas dari kehidupan organisasi dan kehidupann akademis. Kehidupan akademis menuntut mahasiswa untuk rajin kuliah, mengerjakan tugas tepat waktu, mencari referensi di perpus, mencapai IPK tinggi, dan cepat lulus. Kehidupan organisasi lebih menganrah ke pembinaan diri, memupuk kepemimpinan, manajemen, networking, kegiatan, dan profesionalisme. Kedua hal diatas memang bisa berjalan sendiri sendiri. Namun juga bisa berjalan seiring.
Pada era orde baru kehidupan kampus lebih cendeung ke akademis, karena pemerintahan waktu itu represif tehadap rakyatnya. Rakyat_khususnya mahasiswa _ yang kritis akan ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Meskipun demikian perjuangan mahasiswa tidak lah berhenti. Gerakan bawah tanah pun terus dilakukan. Sebagai hasil perjuangan bawah tanah itu , mahasiswa berani menurunkan rezim suharto pada tahun 1998. kemudian munculah reformasi. Di era reformasi inilah mahasiswa bebas mengekspresikan segalan potensinya. Ruang publik terbuka lebar, mimbar demokrasi terbuka seluas luasnya. Akan tetapi pada era ini tidak sedikit yang melemahkan semangat mahasiwa untuk berjuang membela kepentingan rakyat. Mahasiswa tidak mempunyai tantangan yang “nyata sehingga mereka lebih cenderung mementingkan kehidupan pribadi, dengan hura hura, musik, ganja, narkotika dan miras. Namun tidak sedikit dari mahasiswa yang masing mempunyai semangat mengusung kebenaran melalui usaha usaha akademis dan organisasi mereka. Mereka terus bergerak melakukan perubahan. Era reformasi yang dicitakan ternyata masing belum sesuai yang di harapkan oleh mayarakat. Oleh karena itu mahasiswa terus akan berjuang memujudkan reformasi di segala bidang.
Kehidupan seperti itulah kemudian memunculkan beberapa tipe mahsiswa diantaranya adalah pertama tipe mahasiswa akademis murni. Mereka benar benar mementingkan akademis / kuliah, rajin kulaih, rajin ke perpus, kerjakan tugas tepat waktu, lulus cepat. Mereka belum mementingkan organisasi. Kedua , mahasiswa aktivis . mereka adalah orang orang yang “tangguh memegang beberapa organsiasi, kehidupannya di penuhi denga rarat rapat, seminar dan kegiatan. Mereka seolah olah tidak menpunyai rasa lelah berorganisasi, halangan yang dihadapi tidak membuat merka putus asa. Bisanya mahasiswa seperti ini jarnag kuliah bukan karena malas, tidak mengerjakan tugas kuliah karena banyak tugas organisasi yang harus diembannya   untuk orang banyak.
Ya kehidupan kampus memang demikian. Zaman pun terus bergulir. Menurut Muâ„¢arif dalam bukunya “Wacana Pendidikan Kritis dia menjelaskan bahwa tipe tipe mahasiswa mengalami bipolarisasi, yaitu pertama. Mahasiswa akademis terselubung. Yaitu mereka yang dalam statusnya sebagai akademisi. Tetapi sikapanya menunjukkan ketidak konsitenan ( inkosisten ). Statusnya memang sebagai akademisi, hanya saja persoalan tradisi akademik sering tidak diindahkannya. Padahal dari segi aktivitasnya sehari hari tidak bersinggungan dengan organisasi manapun. Beberapa indikasi dari tipe mahasiswa ini adalah malas kuliah, bolos kuliah, tidak mengerjakan tugas tugas kuliah, hanya mementingkan presensi, dan berlagak mbeling. Karena statusnya tetap dipandang sebagai akademisi, tetapai inkonsistennya dalam bersikap menyebabkan prdikat akademisi itu menjadi terselubung. Mahasiswa separti ini tepatnya disebut “mahasiswa gadungan . Kedua ;mahasiswa akademisi murni , yakni mereka yang sepenuhnya mengabdi untuk kepentinagan kuliah. Tidak ada waktu atau kegiatan lain selain kuliah dan belajar. Tipe mahasiswa seperti ini sebenarnya sangat lugu, kolot dan terlalu formalis. Mahasiswa seperti ini memandang kuliah adalah segala – galanya. Untuk mempermudah memahami tipe yang satun ini melalui beberapa indikasi seperti : bangun pagi untuk kuliah, presensi rutin, mencatat dan menyimak ceramah dosen dan sebagainya. Segala macam urusan formalitas kuliah selalu terpenuhi, sehingga mahasiswa seperti ini selalu menjadi “bintang kelas . Soal IPK ( Indeks Prestasi Komulatif ) tidak perlu dipersoalkan lagi, karena untuk mendaaptkan nilai diatas tiga sangat mudah. Biasanya mahasiswa satu ini akan segera merampungkan studinya dalam waktu yang relatif singkat. Yang paling membagnggakana adalah ketika diwisuda mendapat titel sarjana   cum laude. Ketiga ;mahasiswa aktivis an sich. Tipe mahasiswa ini sangat radikal, karena sepenuhnya terjun dalam dunia pergerakan sampai sampai melupakan kuliah. Biasanya mahasiswa seperti ini mudah ditengarai melalui tingkatan yang melebihi 10 semester ke atas. Nilai prestasi kuliah tidak jelas dan kadang seorang aktivis murni harus droup out ( DO ), sebab tidak memenuhi aturan aturan formal kuliah. Keempat; mahasiswa aktivis – akademisi. Tipe terakhir ini menjadi idealnya mahasiswa. Antara kegiatan organisasi dan perkuliahan di kampus dipandang sebagai dua sisi yang harmoni. Artinya kedua duanya dipandang secara berimbang sebagai “sama sama penting . Namun tipe mahaiswa seperti ini amat jarang ditemui. Mahasiswa yang mampu memadukan kegiatan organisasi dengan kegiatan kuliah biasanya memakai semboyan, “ sukses organiasi, sukses studi .
Lalu, kita mau memilih yang mana? Mahasiswa gadungan? Mahasiswa akademisi murni? Mahasiswa aktivis an sich, atau mahasiswa aktivis akademisi? Mahasiswa memupunyai hak masing masing unutk memilih.

Bangun idealisme
Menjadi mahasiswa aktivis akademisi memang menjadi idaman dari semua mahasiswa. Dan itu tidak dilarang. Maksudnya apa? Bahwa mnejadi mahaiswa idaman adalah cita sita yang harus ditanamkan oleh semua mahasiswa, karena ia nanti tidak hidup di satu lingkungan saja, tetapi mereka akan hidup di banyak lingkungan, yang tidak sama peris di bangku perkuliahan. Mereka akan menghadapi lingkungan yang berbeda sekali dengan bangku perkuliahan. Untuk itu, di oraganisasi dilatih untuk mengenal lingkungan yang “sebenarnya . Membangun idealisme akan memunculkan semangat untuk mencapai harapan . Berbagai macam strategi pasti digunakan. Pantang menyerah ketika melihat permasalahan, hambatan dan rintangan. Dengan idealisme mahasiwa mampu memompa semangat tak kenal menyerah.

Aktivis, Pengabdian, dan Inspiratif


BERBICARA tentang kampus maka objek sasaran kita adalah seorang mahasiswa. Ya, mahasiswa adalah mereka yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Status sebagai mahasiswa menjadi sebuah pemisah tersendiri di dalam masyarakat. Orang akan menganggap bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual yang tahu akan segala hal. Padahal apa yang dipelajari di kampus hanya segelintir ilmu yang kemudian diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Maka, tak heran ada mahasiswa yang ketika diminta untuk mengatasi masalah tertentu ternyata dia tidak mampu untuk menyelesaikannya.

Jika dikerucutkan, maka kita dapat membedakan mahasiswa menjadi tiga golongan. Pertama, golongan mahasiswa yang sangat aktif atau sering disebut aktivis. Kedua, golongan mahasiswa yang istilahnya study oriented atau akademisi. Dan ketiga, golongan yang terakhir adalah mahasiswa hedonis/apatis. Dari ketiga golongan mahasiswa ini, ciri dan karakteristik yang melekat berbeda-beda. Namun, tulisan ini akan lebih memfokuskan pembahasan pada golongan mahasiswa yang pertama yaitu aktivis. Ada beberapa yang menjadi pertimbangan penulis mengambil pembahasan tentang aktivis. Pertama, dunia aktivis mempunyai daya tarik tersendiri karena mereka adalah orang-orang yang sangat gila terhadap organisasi. Kedua, banyak orang yang menilai bahwa potret manusia yang ideal ditunjukkan oleh para aktivis.


Pengabdian penuh keikhlasan
 
Pembicaraan tentang aktivis memang sangat menarik, terutama aktivis mahasiswa. Mungkin kita pernah mendengar perkataan seperti ini “Perubahan yang terjadi pada bangsa ini, yaitu reformasi, merupakan hasil perlawanan dari aktivis mahasiswa.”

Saat kita mencoba mendefinisikan makna aktivis, maka setiap orang mempunyai subjektivitas dalam mendefinisikannya. Banyak orang menilai bahwa seorang aktivis adalah orang yang sangat aktif di banyak organisasi. Di sisi lain juga, banyak orang yang mendefinisikan aktivis sebagai mereka yang sering melakukan demonstrasi, mengkritik dan menghujat pemerintah.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi Aktivis adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Dari definisi di atas kita bisa menjabarkan lebih lanjut bahwa aktivis adalah sang pelopor dan sang penggerak berbagai hal untuk kepentingan organisasinya atau masyarakat. Jadi aktivis bukan saja mereka yang aktif di satu organisasi, namun juga mereka yang mampu menjadi pelopor dan penggerak suatu perubahan.

Aktivis adalah orang yang sangat loyal kepada organisasi yang mereka ikuti. Hal ini terbukti dari keikhlasan mereka untuk mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam mewujudkan cita-cita bersama. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang merelakan waktu kuliah demi memastikan bahwa organisasi yang diikutinya berjalan dengan baik.

Hal lain yang tidak lepas dari aktivis adalah sebuah pengabdian terhadap bangsa dan negaranya. Mereka berjuang mati-matian di sebuah lembaga bukan untuk mencari kedudukan ataupun pujian. Namun mereka melakukan itu sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan negara. Maka tidak heran, kita dapat melihat semangat mereka yang tidak kenal lelah untuk menyelesaikan permasalahan bangsa ini. Para aktivis ini yakin, apa yang mereka perjuangkan di lembaga akan memberikan perubahan dan bisa menjadi inspirasi orang-orang di sekitarnya.


Mereka hadir untuk menginspirasi
 
Tak heran banyak orang menggambarkan sosok mahasiswa berkarakter dan mempunyai idealisme tinggi sebagai aktivis mahasiswa. Bukan suatu yang berlebihan karena memang mereka adalah orang yang mempunyai ketulusan hati untuk mengabdi, dedikasi yang tinggi, dan mampu menjadi sang pelopor perubahan.

Orang-orang yang berada di sekelilingnya akan terasa terpantik semangatnya untuk berkontribusi menyelesaikan permasalahan yang ada. Mereka akan senantiasa optimistis meskipun lingkungannya di sekitarnya membentenginya. Ibaratnya, para aktivis adalah nyala api yang tidak pernah padam. Dan mereka lebih memilih menjadi lilin yang hidup di antara lilin yang mati. Karena mereka ada dan hadir untuk menginspirasi orang-orang yang ada di sekitarnya.

Senin, 22 Juni 2015

MAKNA DARI AKTIVIS KAMPUS


Seluruh Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta di kota-kota seluruh Indonesia, tak terkecuali di Surabaya, tidaklah lepas dari peran organisasi kampus, baik organisasi internal kampus, maupun eksternal. Bagi mahasiswa, organisasi bisa dikatakan kampus kedua. Karena memang organisasi mempunyai peranan yang cukup vital dalam mencetak karakter mahasiswa yang militan.
Tentu yang dimaksud di sini adalah mahasiswa-mahasiswa yang melek terhadap organisasi kampus. Karena, masih banyak mahasiswa yang ternyata anti terhadap organisasi. Mungkin kalau masuk organisasi hanya karena ikut-ikutan, karena merasa tidak enak terhadap kawan dekatnya atau hanya ingin mencari kenalan dan kawan baru saja. Mahasiswa yang seperti itu lebih tepat disebut dengan istilah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Berangkat ke kampus, kuliah, dan pulang, tanpa tahu dan mendengar isu-isu yang sedang hangat dibicarakan.
Sedangkan bagi mahasiswa yang melek terhadap organisasi, masuk ke dalam suatu organisasi bagaikan mata kuliah yang wajib diambil. Berorganisasi bukan hanya sarana mencari teman dan pengalaman baru saja, tetapi juga mencari ilmu-ilmu dan pengetahuan baru yang yang mungkin tidak didapatkan dalam perkuliahan. Tidak hanya itu, berorganisasi juga ditujukan agar nalar ini menjadi pecah dan berkembang. Nah, dari organisasi-organisasi itulah, pada akhirnya muncul sekelompok orang pemikir dan pejuang yang bersedia melakukan perubahan ke arah perbaikan nasib bangsa dengan segenap kemauan dan kemampuan, atau yang lebih populer dengan sebutan aktivis kampus.
Pada masa-masa sekarang ini, banyak mahasiswa yang meniti karier menjadi aktivis. Bahkan, banyak mahasiswa yang ingin disebut sebagai aktivis kampus secara paksa. Artinya, banyak mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya (meskipun tidak secara langsung) sebagai aktivis, sedangkan kredibilitasnya untuk bisa disebut sebagai aktivis sebenarnya masih belum mumpuni. Karena menurut mereka, aktivis merupakan suatu gelar dan status sosial yang bisa dibanggakan dan membedakannya dari mahasiswa lainnya. Akibatnya, banyak yang terjebak ke dalam nama, sebutan, dan definisi semata, yang pada kenyataannya tidak mengetahui esensinya.

Salah Terapan
Berangkat dari kesalahan mendasar yaitu kesalahan pemahaman esensi makna aktivis itulah, maka terjadi masalah yang berbuntut panjang dan berdampak pada aplikasi di lapangan, sehingga jargon mahasiswa pada umumnya dan para aktivis khususnya, The Agent Of Change, sulit terwujudkan.
Karena kesalahan pemahaman itu pula, tidak jarang terlihat para aktivis yang berusaha untuk menguasai peta politik kampus, sehingga organisasi-organisasi intern kampus yang mempunyai peran vital bagi kemajuan kampus, misalnya BEM Kampus atau BEM Fakultas, hanya dikuasai oleh orang-orang dan kelompok yang itu-itu saja dengan mengusung kebijakan-kebijakan yang mengutamakan dan menguntungkan dirinya sendiri dan golongannya, sehingga tujuan utamanya memperjuangkan nasib seluruh mahasiswa dan civitas akademika menjadi menguap.
Selanjutnya, dengan disadari ataupun tidak, akan ada suatu proses penyekatan dan pengkotakan idealisme dan egoisme antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, atau mahasiswa yang aktivis dengan yang non-aktivis, sehingga apabila idealisme-idealisme yang berbeda tersebut saling berbenturan, maka mau tidak mau akan mengancam harmonisasi kampus. Realitanya, suatu saat ketika salah satu kelompok menginginkan demonstrasi, sedangkan kelompok yang lain ingin mengikuti kuliah, maka terjadi suatu perdebatan sengit mengenai pentingnya mengikuti kuliah dan berdemo, yang akhirnya terjadi pemblokiran kelas-kelas yang masih melaksanakan perkuliahan dan pemaksaan terhadap mahasiswa untuk mengikuti demonstrasi.
Dari realita itu jelas sekali terlihat bahwa perbedaan bendera idealisme akan menjadi jurang pemisah yang kemudian memunculkan suasana yang tidak sinergis terhadap arah pergerakan.
Namun, terlepas dari semua itu, pergerakan yang dilakukan oleh para aktivis, telah berhasil merubah sistem pemerintahan republik ini. Sistem demokrasi terpimpin yang digelar oleh penguasa orde baru dan antek-anteknya telah berhasil dirubah menjadi demokrasi yang berazaskan kebebasan rakyat dalam berapresiasi dan berekspresi, meskipun untuk itu, mereka telah rela mengorbankan nyawa sekalipun.

Aktivis Sesungguhnya
Stereotip yang mengatakan bahwa seorang aktivis adalah mahasiswa yang berIPK di bawah rata-rata, masih melekat hingga sekarang. Bahkan, hal itu dijadikan salah satu “syarat” untuk menjadi seorang aktivis. Artinya, seorang mahasiswa baru bisa dikatakan menjadi seorang aktivis apabila dia aktif di suatu organisasi yang sampai-sampai kuliahnya keteteran dan IPK-nya jeblog. Setidaknya paradigma itulah yang terpakai hingga sekarang untuk mengukur layak tidaknya seorang mahasiswa menyandang gelar aktivis. Dan anehnya, yang menyandang gelar tersebut tetap enjoy tanpa merasa mempunyai beban yang harus dipertanggungjawabkan karena menyandang gelar tersebut.
Padahal, nilai yang jeblog karena kuliah keteteran akan dan pasti menghambat proses penyelesaian studi dengan konsekuansi biaya yang harus ditanggung semakin tinggi. Belum lagi jika fakultas “berkata lain”, maka harus lulus dengan predikat drop uot. Atau pun jika berhasil lulus, maka akan menjadi output yang tidak begitu menggembirakan. Selain itu, akan mempersulit untuk mendapatkan pekerjaan, karena biasanya perusahaan melihat bukan hanya bagus tidaknya nilai, tetapi juga tepat waktu atau tidaknya penyelesaian studi. Semakin cepat seorang mahasiswa menyelesaikan studinya (dengan nilai yang bagus tentunya), maka nilai jualnya akan semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, maka paradigma yang semacam itu sudah saatnya diluruskan. Sudah saatnya tidak ada lagi mahasiswa yang masuk ke ruang kuliah memakai sandal dan busana yang acak-acakan, atau jarang masuk kuliah dengan alasan sibuk berorganisasi (konotasi-konotasi yang biasanya dilekatkan pada sosok aktivis). Karena aktivis kampus yang sesungguhnya adalah mahasiswa yang mempunyai intelektual tinggi, mempunyai prinsip, berorientasi masa depan, mau dan mampu memperjuangkan nasib rakyat, dan berkomitmen untuk menyelesaikan studinya tepat pada waktunya. Di luar itu rasanya tidak pantas untuk disebut sebagai aktivis, atau lebih tepatnya disebut aktivis gadungan.